Senin, 14 Maret 2011

PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI DALAM PROSES PEMBANGUNAN


PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI DALAM PROSES PEMBANGUNAN
Perkembangan masyarakat seringkali dianalogikan seperti halnya proses evolusi yaitu suatu proses perubahan yang berlangsung sangat lambat. Pemikiran ini sangat dipengaruhi oleh hasil-hasil penemuan ilmu biologi, yang memang telah berkembang dengan pesatnya. Peletak dasar pemikiran perubahan sosial sebagai suatu bentuk “evolusi” antara lain Herbert Spencer dan Augus Comte.
Keduanya memiliki pandangan tentang perubahan yang terjadi pada suatu masyarakat dalam bentuk perkembangan yang linear menuju ke arah yang positif. Perubahan sosial menurut pandangan mereka berjalan lambat namun menuju suatu bentuk “kesempurnaan” masyarakat.
Pemikiran Spencer sangat dipengaruhi oleh ahli biologi pencetus ide evolusi sebagai proses seleksi alam, Charles Darwin, dengan menunjukkan bahwa perubahan sosial juga adalah proses seleksi. Masyarakat berkembang dengan paradigma Darwinian: ada proses seleksi di dalam masyarakat kita atas individu-individunya. Spencer menganalogikan masyarakat sebagai layaknya perkembangan mahkluk hidup. Manusia dan masyarakat termasuk didalamnya kebudayaan mengalami perkembangan secara bertahap. Mula-mula berasal dari bentuk yang sederhana kemudian berkembang dalam bentuk yang lebih kompleks menuju tahap akhir yang sempurna. Seperti halnya Spencer, pemikiran Comte sangat dipengaruhi oleh pemikiran ilmu alam. Pemikiran Comte yang dikenal dengan aliran positivisme, memandang bahwa masyarakat harus menjalani berbagai tahap evolusi yang pada masing-masing tahap tersebut dihubungkan dengan pola pemikiran tertentu. Selanjutnya Comte menjelaskan bahwa setiap kemunculan tahap baru akan diawali dengan pertentangan antara pemikiran tradisional dan pemikiran yang bersifat progresif. Sebagaimana Spencer yang menggunakan analogi perkembangan mahkluk hidup, Comte menyatakan bahwa dengan adanya pembagian kerja, masyarakat akan menjadi semakin kompleks, terdeferiansi dan terspesialisasi.
Berbeda dengan Spencer dan Comte yang menggunakan konsepsi optimisme, Oswald Spengler cenderung ke arah pesimisme. Menurut Spengler, kehidupan manusia pada dasarnya merupakan suatu rangkaian yang tidak pernah berakhir dengan pasang surut. seperti halnya kehidupan organisme yang mempunyai suatu siklus mulai dari kelahiran, masa anak-anak, dewasa, masa tua dan kematian. Perkembangan pada masyarakat merupakan siklus yang terus akan berulang dan tidak berarti kumulatif.
Teori-teori terus berkembang dengan pesatnya. Talcott Parsons melahirkan teori fungsional tentang perubahan. Seperti para pendahulunya, Parsons juga menganalogikan perubahan sosial pada masyarakat seperti halnya pertumbuhan pada mahkluk hidup. Komponen utama pemikiran Parsons adalah adanya proses diferensiasi. Parsons berasumsi bahwa setiap masyarakat tersusun dari sekumpulan subsistem yang berbeda berdasarkan strukturnya maupun berdasarkan makna fungsionalnya bagi masyarakat yang lebih luas. Ketika masyarakat berubah, umumnya masyarakat tersebut akan tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik untuk menanggulangi permasalahan hidupnya. Dapat dikatakan Parsons termasuk dalam golongan yang memandang optimis sebuah proses perubahan.
Francesca Cancian memberikan sumbangan pemikiran bahwa sistem sosial merupakan sebuah model dengan persamaan tertentu. Analogi yang dikembangkan didasarkan pula oleh ilmu alam, sesuatu yang sama dengan para pendahulunya. Model ini mempunyai beberapa variabel yang membentuk sebuah fungsi. Penggunaan model sederhana ini tidak akan mampu memprediksi perubahan atau keseimbangan yang akan terjadi, kecuali kita dapat mengetahui sebagaian variabel pada masa depan. Dalam sebuah sistem yang deterministik, seperti yang disampaikan oleh Nagel, keadaan dari sebuah sistem pada suatu waktu tertentu merupakan fungsi dari keadaan tersebut beberapa waktu lampau.

PERUBAHAN STRUKTUR PENGGUNAAN TENAGA KERJA
Ketimpangan strategi pembangunan antara desa dan kota menghasilkan kesenjangan antara kota dan desa. Dimana perkotaan mengalami pertumbuhan pembangunan sosial ekonomi yang cepat dan sebaliknya terjadi kemiskinan dan pemiskinan di pedesaan. Kesenjangan antara kota dan desa menjadi faktor penyebab terjadinya urbanisasi besar-besaran oleh masyarakat desa.
Urbanisasi ini dengan tujuan memperbaiki kehidupan ekonomi keluarga. Arus urbanisasi yang padat tanpa dibekali skill dan pendidikan yang cukup dari masyarakat desa yang melakukan migrasi, akhirnya terjadi perubahan dinamika di kota. Kota menjadi penuh sesak oleh masyarakat urban yang mencari perkerjaan. Mereka yang tidak dapat tertampung pada sektor formal akhirnya memilih eksis pada sektor informal. Tidak hanya kaum laki-laki yang melakukan urbansisi, namun jumlah kaum perempuan yang melakukan urbanisasi juga tidak sedikit. Hal ini dikarena kaum perempuan adalah subyek yang sangat dirugikan oleh sistem pertanian (revolusi hijau) di Indonesia. Dengan skill dan pendidikan yang rendah, tentunya kaum perempuan di pedesaan tidak bisa terlibat aktif dalam proses pertanian yang modern (menggunakan mesin-mesin canggih) dalam proses produksi. Hal ini karena kaum perempuan tidak diberi pendidikan khusus untuk mengoperasikan alat-alat pertanian yang modern.
Untuk terbebas dari kemiskinan dan proses pemiskinan semacam itu, sebagian orang yang memilih tetap tinggal di pedesaan mengembangkan pekerjaan baru di luar bidang pertanian, seperti pedagang kecil, penjahit, sopir dan kernet angkutan pedesaan, tukang ojek, dan lain-lain. Sebagian lainnya, melakukan migrasi ke kota-kota besar untuk menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri. Kaum migran, baik yang mengisi sektor informal di perkotaan maupun yang menjadi TKI dan TKW, disamping kemudian mengalirkan nilai ekonomi di pedesaan, mereka juga meninggalkan persoalan berupa perubahan sosial yang tidak selalu berdimensi positif di desa asal mereka. Perubahan sosial, misalnya menyangkut perubahan struktur keluarga, pola pengasuhan anak, pola interaksi sosial dan gaya hidup.
PERUBAHAN STRUKTUR INDUSTRI MENURUT CHENERY
Menurut Chenery-Syrquin 2 faktor mama yang mendorong terjadinya perubahan tersebut adaalah peningkatan pendapatan per kapita dan jumlah penduduk. Penelitian ini bertujuan untuk menguji kesesuaian teori ini dengan fenomena perubahan struktur ekonomi yang terjadi di Indonesia selama periode 1981-2004.
Melalui regresi dengan meuggunakan metode Ordinary Least Squares (OLS) didapatkan kesimpulan bahwa teori Chenery-Syrquin tidak sesuai dengan fenomena perubahan struktur ekonomi Indonesia. Hanya pada struktur produksi Baja teori Chenery-Syrquin ini menunjukkan kesesuaian, sementara pada struktur permintaan domestik dan struktur perdagangan luar negeri teori Chenery-Syrquin tidak sesuai dengan fenomena yang terjadi di Indonesia selama periode 1981-2004.
PERUBAHAN STRUKTUR SEKTOR INDUSTRI DAN JASA
Pada bagian awal dari paper ini El-hadj Bah memaparkan penemuan dari penelitian-penelitian sebelumnya tentang transformasi struktural. Dalam hal ini El-hadj Bah mendasarkan penelitiannya pada penelitian Kuznets (1971). Kuznets menemukan bahwa proses transformasi struktural negara maju cenderung seragam antara satu negara dengan negara lain, dimana proses tersebut terdiri dari 2 tahap. Pertama, pada awalnya sumber-sumber daya ekonomi sebagian besar dialokasikan pada sektor pertanian, yang kemudian seiring dengan pertumbuhan ekonomi alokasi ekonomi bertransformasi ke sektor industri dan jasa. Kedua, alokasi sumber-sember daya ekonomi kembali bertransformasi dari sektor pertanian dan industri ke sektor jasa. Berarti dengan adanya kenaikan Produk Domestik Bruto (PDB), hasil dari sektor pertanian akan menurun, hasil dari sektor industri pada awalnya akan naik tetapi kemudian turun, dan hasil dari sektor jasa akan selalu meningkat.
Negara-negara maju ini mengalami proses pertumbuhan yang panjang dalam perekonomiannya terutama terkait dengan pertumbuhan PDBnya. Menurut Duarte dan Restuccia (2008), sebagian besar negara-negara maju mengalami peningkatan PDB yang sangat signifikan karena mereka mengalami pergeseran alokasi sumber daya ekonomi dari yang tadinya mayoritas dialokasikan ke sektor pertanian menjadi teralokasi ke sektor jasa.
Perubahan struktur di negara berkembang selanjutnya El-hadj Bah mencoba meneliti transformasi struktural yang terjadi di negara berkembang. Dalam hal ini El-hadj Bah ingin melihat apakah transformasi struktural di negara berkembang memiliki pola yang sama dengan di negara maju. Dalam analisa ini, El-hadj Bah memilih 38 negara berkembang yang terletak di Sub-Saharan Afrika, Asia Timur dan Tenggara serta Amerika Latin sebagai sampel. Berdasarkan penelitian yang dilakukan ternyata teori Kuznets tidak berlaku di negara berkembang. Penelitian dalam paper ini memberikan kesimpulan bahwa negara berkembang memiliki pola transformasi struktural yang berbeda dengan negara maju walaupun memang ada beberapa negara yang mengikuti pola negara maju. Perbedaannya terletak di dua dimensi, yaitu (1) slope atau efek transisi, dimana menunjukkan sifat hubungan antara perubahan dalam bagian output sektoral dengan perubahan log GDP per kapita; (2) efek level, dimana menunjukkan level bagian output sektoral pada GDP per kapita tertentu. Selain itu, kesimpulan yang dapat diambil berkaitan dengan pola transformasi struktural, terdapat heterogenitas yang besar akan pola transformasi struktural yang ada di negara berkembang. Pada intinya, penelitian dalam paper ini memperlihatkan perbedaan pola transformasi struktural pada negara berkembang, baik dengan negara maju maupun dengan sesama negara berkembang. Perbedaan transformasi struktural antara negara-negara berkembang itu kemudian penulis jabarkan dalam golongan-golongan berdasarkan perbedaan geografis menjadi negara-negara di Asia, Afrika dan Amerika Latin.
TAHAP-TAHAP PERTUMBUHAN EKONOMI
Hampir enam puluh (60) tahun bangsa Indonesia melakukan pembangunan ekonomi selama itu pula pertumbuhan ekonomi mengalami pasang surut. Fluktuasi pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat terkait dengan fluktuasi stabilitas sosial, politik dan keamanan.
Pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari nilai absolut maupun relatif. Secara absolut berarti dilihat dari perubahan PDB tahun lalu dengan tahun sekarang. Misalnya PDB tahun 2004 tumbuh Rp 3 triliun dari tahun 2003. Sedangkan secara relatif pertumbuhan ekonomi dapat dihitung sebagai berikut:
ΔPDBt = [ PDBt - PDBt - 1/PDBt - 1] x 100%.
Dimana ΔPDBt = adalah pertumbuhan ekonomi tahun (t), PDBt adalah PDB tahun tertentu dalam nilai absolut dan PDBt-1 adalah PDB tahun sebelumnya. Untuk mempermudah penggambaran, masa pertumbuhan ekonomi dipilah menjadi tiga (3), yaitu masa orde lama, orde baru dan masa reformasi.

Masa Orde Lama

Setelah kemerdekaan hingga tahun 1965, perekonomoian Indonesia memasuki era yang sangat sulit, karena bangsa Indonesia menghadapi gejolak sosial, politik dan keamanan yang sangat dahsyat, sehingga pertumbuhan ekonomi kurang diperhatikan. Kegiatan ekonomi masyarakat sangat minim, perusahaan-perusahaan besar saat itu merupakan perusahaan peninggalan penjajah yang mayoritas milik orang asing, dimana produk berorientasi pada ekspor. Kondisi stabilitas sosial- politik dan keamanan yang kurang stabil membuat perusahaan-perusahaan tersebut stagnan.
Pada periode tahun 1950-an Indonesia menerapkan model guidance development dalam pengelolaan ekonomi, dengan pola dasar Growth with Distribution of Wealth di mana peran pemerintah pusat sangat dominan dalam mengatur pertumbuhan ekonomi (pembangunan semesta berencana). Model ini tidak berhasil, karena begitu kompleknya permasalahan ekonomi, sosial, politik dan keamanan yang dihadapi pemerintah dan ingin diselesaikan secara bersama-sama dan simultan. Puncak kegagalan pembangunan ekonomi orde lama adalah terjadi hiper inflasi yang mencapai lebih 500% pada akhir tahun 1965.
Masa Orde Baru Belajar dari kegagalan Orde Lama, Orde Baru sejak awal tahun 1970 menerapkan planned economy dengan pola Growth First then Distribution of Wealth. Planned economy yang dianut Indonesia merujuk pada pertumbuhan perekonomiannya Rostow, dimana kemajuan perekonomian suatu masyarakat melalui beberapa tahapan, sehingga pada masa itu pemerintah mengenalkan adanya Pembangunan Jangka Panjang Tahap I (PJPT I), dan PJPT II. Pembangunan jangka panjang juga dimasyarakatkan dengan nama Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun), program ini menunjukkan keberhasilan, terutama dilihat dari indikator makro ekonomi, yaitu tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pertumbuhan pendapatan yang tinggi, tingkat inflasi yang rendah, kestabilan nilai tukar rupiah, rendahnya tingkat pengangguran dan perbaikan sarana perekonomian. Tahapan model pembangunan Rostow tampak jelas pada tahapan-tahapan pelita di Indonesia selama PJPT I.
















POLITIK PERTANIAN
Kasadaran terhadap malapetaka universal akibat penerapan sistem ekonomi kapitalistik telah mendorong sejumlah pemikir untuk menggagas sistem ekonomi alternatif yang bisa membawa umat manusia menuju kesejahteraan dan kemakmuran bersama. Kesadaran ini semakin mengkristal ketika krisis demi krisis terus menghajar dunia dan keadaan perekonomian negara-negara berkembang tidak menunjukkan tanda-tanda menuju kearah perbaikan.
Sosialisme-marxisme yang diyakini mampu menggantikan sistem kapitalistik ternyata juga gagal. Bahkan rezim ini lebih dulu ambruk di tangan kaum kapitalis pada tahun 90-an. Dunia tetap dicengkeram oleh sistem kapitalistik dan terus ditimpa berbagai macam krisis. Walaupun para pemikir kapitalis telah menyodorkan sejumlah gagasan dan kebijakan untuk meredam dan mencegah krisis dunia, gagasan itu nyata-nyata mandul. Ini karena mereka tidak pernah menyentuh akar persoalan ekonomi dunia, yakni paradigma dan sistem kapitalistik itu sendiri. Mereka masih menyakini bahwa Kapitalisme adalah ideologi final yang tidak bisa diganggu gugat. Padahal akar masalahnya justru terletak pada Kapitalisme itu sendiri.
Berangkat dari faktor-faktor inilah, Dr. Abdurrahman al-Malikiy mengetengahkan buku As-Siyâsah al-Iqtishâdiyyah al-Mutsla (Politik Ekonomi Ideal) sebagai wujud perhatian beliau terhadap keadaan kaum Muslim di bidang ekonomi.
(Telaah Kitab As-Siyasahal-iqtishadiyyahal-Mutsla). Dalam buku ini Dr. Abdurrahman al-Maliki menguraikan kesalahan-kesalahan paradigmatik sistem ekonomi kapitalis dan sosialis berikut pandangan-pandangan derivatifnya. Beliau juga menjelaskan isu-isu penting yang berhubungan dengan utang luar negeri, sistem moneter, program pendanaan untuk kegiatan pertanian dan industri, neraca pertumbuhan, jaminan terhadap kebutuhan-kebutuhan primer bagi rakyat, dan lain sebagainya.
Semua ini dilakukan agar perencanaan dan program pembangunan ekonomi di negeri kaum Muslim benar-benar mampu mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi rakyat dan selalu sejalan dengan syariah Islam. Lebih dari itu, buku ini bisa menjadi bekal bagi Daulah Islamiyah untuk dapat menjadi negara mandiri yang kuat secara ekonomi dan politik.
Jika Anda membaca satu-persatu topik yang ada dalam buku ini, niscaya Anda akan menemukan paradigma baru dalam melihat persoalan-persoalan ekonomi dunia serta apa yang sesungguhnya terjadi di negeri-negeri kaum Muslim. Anda akan menyadari sepenuhnya bahwa program pembangunan ekonomi yang disodorkan kaum kapitalis Barat sejatinya bukan untuk mengantarkan Dunia Ketiga menjadi negara yang kuat, tetapi justru untuk melanggengkan penjajahan dan dominasi mereka atas Dunia Ketiga.
Politik Ekonomi Islam
Dr. Abdurrahman al-Maliki menyatakan bahwa politik ekonomi Islam adalah sejumlah hukum (kebijakan) yang ditujukan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan primer setiap individu dan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pelengkap (kebutuhan sekunder dan tersier) sesuai dengan kadar kemampuannya. Untuk itu, semua kebijakan ekonomi Islam harus diarahkan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan asasi dan (jika memungkinkan) terpenuhinya kebutuhan pelengkap pada setiap orang (perindividu) yang hidup di dalam Daulah Islamiyah, sesuai dengan syariah Islam.
Dengan demikian, politik ekonomi Islam didasarkan pada empat pandangan dasar:
1.      Setiap orang adalah individu yang membutuhkan pemenuhan atas kebutuhan-kebutuhannya.
2.      Adanya jaminan bagi setiap individu yang hidup di dalam Daulah Islamiyah untuk memenuhi kebutuhan primernya.
3.      Islam mendorong setiap orang untuk berusaha dan bekerja mencari rezeki agar mereka bisa mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup; alias bisa memasuki mekanisme pasar.
4.      Negara menerapkan syariah Islam untuk mengatur seluruh interaksi di tengah-tengah masyarakat serta menjamin terwujudnya nilai-nilai keutamaan dan keluhuran dalam setiap interaksi, termasuk di dalamnya interaksi ekonomi.
Atas dasar itu, politik ekonomi Islam tidak sekadar diarahkan untuk meningkatnya pendapat nasional (GNP) atau disandarkan pada pertumbuhan ekonomi nasional, keadilan sosial, dan lain sebagainya. Politik ekonomi Islam terutama ditujukan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan primer secara menyeluruh bagi setiap orang yang hidup di Daulah Islamiyah. Atas dasar itu, persoalan ekonomi bukanlah bagaimana meningkatkan kuantitas produksi barang dan jasa, tetapi sampainya barang dan jasa itu kepada setiap orang (distribusi). Hanya saja, pertumbuhan ekonomi juga menjadi obyek yang diperhatikan dan hendak diselesaikan di dalam sistem ekonomi Islam. Dari sini bisa disimpulkan, bahwa obyek persoalan ekonomi dalam sistem ekonomi Islam ada 2 macam:
1.      politik ekonomi
2.      pertumbuhan kekayaan
Politik ekonomi Islam mencakup dua pembahasan penting: (1) sumber-sumber ekonomi; (2) garis-garis besar kebijakan yang berkaitan dengan jaminan pemenuhan kebutuhan primer (basic needs). Pertumbuhan ekonomi harus bertumpu pada empat kebijakan penting: politik pertanian; politik industri; pendanaan-pendanaan proyek; dan penciptaan pasar-pasar luar negeri untuk produk-produk Daulah Islamiyah.
Pada dasarnya, sumber-sumber ekonomi ada empat macam; pertanian, perindustrian, perdagangan, dan tenaga manusia (jasa). Sumber-sumber ekonomi lain, semisal dari sektor pariwisata, transportasi, gaji, dan lain sebagainya dianggap sebagai sumber pelengkap; bukan sumber ekonomi primer. Untuk itu, kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan sumber ekonomi dikonsentrasikan pada empat sektor di atas: pertanian, perindustrian, perdagangan, dan tenaga manusia.

Setelah terurai dengan jelas apa saja yang menjadi sumber-sumber primer ekonomi, buku ini menjabarkan secara lebih detail paradigma dan hukum Islam penting yang berhubungan dengan sumber-sumber ekonomi tersebut (yakni; persoalan pertanian, perindustrian, perdagangan, dan tenaga manusia). Penulis juga memaparkan sejumlah pandangan keliru yang berkaitan dengan persoalan tanah, industri, perdagangan, dan tenaga manusia. Misal: dalam hal tanah, beliau mengkritik teori persamaan kepemilikan tanah, land reform, yang disodorkan oleh kaum sosialis. Beliau juga mengetengahkan solusi untuk mengatasi feodalisme, yakni penguasaan tanah yang sangat luas oleh orang-orang tertentu.
Dalam masalah industri, beliau menekankan pentingnya perindustrian untuk menopang ekonomi negara. Beliau juga menyatakan, bahwa hukum asal dari industri adalah milik individu. Namun, industri bisa berubah menjadi milik umum ketika bahan mentah yang hendak diolah adalah milik umum.
Dalam masalah tenaga manusia, beliau juga mengurai paradigma perburuhan, permasalahan perburuhan, persoalan-persoalan yang berkaitan dengan jaminan sosial, dasar penetapan gaji buruh; serta kritik terhadap pandangan kaum kapitalis maupun sosialis berkaitan dengan persoalan perburuhan, jaminan sosial untuk buruh, dan sebagainya. Dalam masalah perburuhan ini, beliau juga mengurai pandangan kaum kapitalis dan sosialis dalam masalah jaminan sosial, jaminan atas pemenuhan kebutuhan primer, dan lain sebagainya.
Dalam masalah perdagangan, beliau juga mengurai pandangan dasar serta hukum-hukum yang berkenaan dengan perdagangan, mata uang, kurs mata uang, dan lain sebagainya. Adapun terkait dengan pertumbuhan ekonomi, meskipun peningkatan kekayaan dengan cara menciptakan proyek-proyek ekonomi tidak terkait dengan pandangan hidup tertentu (karena bersandar pada ilmu ekonomi yang bebas nilai (free of value), tidak bisa dipungkiri bahwa pandangan hidup tertentu sangat berpengaruh dalam penetapan langkah-langkah untuk membangun proyek-proyek tersebut. Karena itu, penetapan proyek-proyek yang berhubungan dengan masalah pertumbuhan ekonomi harus didasarkan pada pandangan hidup Islam. Kebijakan-kebijakan untuk peningkatan kekayaan ekonomi ini bertumpu pada kebijakan (politik) dalam bidang pertanian, industri, pendanaan proyek dan penciptaan pasar luar negeri untuk produk-produk Daulah Islamiyah.
Kebijakan dalam bidang pertanian didasarkan pada sebuah paradigma, bahwa proyek-proyek pertanian dilaksanakan sesuai dengan hukum-hukum syariah yang berhubungan dengan tanah. Dengan demikian, proyek-proyek untuk produksi pertanian mengikuti status kepemilikan atas lahan-lahan pertanian. Menurut al-Maliki, status lahan-lahan pertanian tersebut kebanyakan adalah milik individu, bukan milik negara maupun umum. Untuk itu, negara tidak memiliki peran terlalu menonjol dari proyek-proyek pertanian. Dengan kata lain, proyek-proyek pertanian adalah proyek yang bersifat individual, bukan komunal. Namun demikian, negara bertanggung jawab memberikan modal kepada petani yang tidak memiliki modal untuk menggarap lahan pertaniannya. Negara juga bertanggung jawab penuh dalam pembangunan proyek-proyek infrastruktur seperti pembuatan jalan, irigasi, bendungan, dan lain sebagainya sesuai dengan prinsip-prinsip keseimbangan.
Politik pertanian dirancang sedemikian rupa untuk meningkatkan produksi pertanian; biasanya ditempuh dengan cara intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian. Semua kebijakan (politik) pertanian harus ditujukan untuk meningkatkan produksi pada tiga produk penting:
1.      Produksi bahan makanan; agar ada ketersediaan bahan makanan pokok bagi rakyat. Pasalnya, makanan pokok merupakan salah satu kebutuhan primer yang harus dipenuhi.
2.      Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat pakaian seperti kapas, wol, pohon rami, dan lain sebagainya. Produk-produk semacam ini sangat penting karena ia termasuk kebutuhan primer.
3.      Komoditas ekspor yang memiliki pasaran di luar negeri seperti palawija, karet, kopra, cengkeh, sutra, kapas, dan lain sebagainya. Ini jika ditinjau dari aspek peningkatan produksi.
Adapun ditinjau dari aspek pembangunan infrastruktur, seharusnya negara menitik-beratkan pada pembangunan infrastruktur-infrastruktur industri agar terjadi revolusi industri yang bisa mendorong terjadinya kemajuan di bidang ekonomi. Sebab, tujuan dari pembangunan ekonomi adalah menciptakan kemajuan materi. Hal ini tidak bisa diwujudkan kecuali dengan revolusi industri. Sayang, Barat telah meracuni negeri-negeri kaum Muslim dengan program pembangunan yang menitikberatkan pada bidang pertanian, baru kemudian industri. Semua ini ditujukan agar di negeri-negeri kaum Muslim tidak terjadi revolusi industri. Akibatnya, sampai sekarang, negeri-negeri kaum Muslim tidak pernah maju dan kuat secara ekonomi.
Adapun politik industri ditujukan untuk menjadikan negara sebagai negara industri. Tujuan ini hanya bisa tercapai dengan cara memproduksi alat-alat berat yang digunakan untuk menunjang proyek-proyek pembangunan negara lainnya, dan untuk memangkas ketergantungan kepada pihak asing. Untuk itu, pembangunan sektor industri harus mendapatkan porsi perhatian yang sangat serius untuk mempercepat terjadinya revolusi industri dinegara tersebut. Sementara itu, kebijakan dalam pendanaan proyek-proyek sesungguhnya bergantung pada jenis proyek itu sendiri, apakah termasuk sektor privat ataukah sektor publik. Jika proyek-proyek pembangunan itu termasuk sektor privat maka negara hanya memberikan bantuan-bantuan kepada pelaku proyek, dan menyediakan infrastrukturnya saja. Jika proyek itu termasuk sektor publik maka pendanaan untuk proyek-proyek semacam ini membutuhkan pengkajian yang mendalam. Pendanaan untuk proyek-proyek semacam ini harus bersandar pada kas negara yang tersimpan di Baitul Mal. Dalam hal ini, negara tidak boleh bersandar pada utang luar negeri. Sebab, telah tampak jelas bahaya utang luar negeri bagi negara-negara pengutang. Untuk itu, pembaca bisa membaca ulasan Dr. Abdurrahman al-Maliki mengenai bahaya utang luar negeri bagi kaum Muslim Khatimah.
Pembangunan di negeri-negeri kaum Muslim yang mengikuti program dan arahan Barat telah terbukti tidak mengantarkan negeri-negeri kaum Muslim menjadi negara yang makmur dan kuat secara ekonomi. Bahkan negeri-negeri kaum Muslim terus terpuruk dan semakin bergantung pada kaum kafir Barat. Bahkan program pembangunan di Dunia Ketiga justru dijadikan senjata oleh kaum kafir untuk menguras kekayaan alam dan menghalangi negeri-negeri itu menjadi negara industri yang kuat dan tangguh.

1 komentar: